Friday, June 30, 2017

Memberi Hati Untuk Melepas

Teruntuk kamu yang tak bisa lagi kudapat. 
Terkhusus untuk hatinya yang tak lagi sama.


Saat itu semua serasa hampa, ia datang lalu mengajarkan apa itu beranjak. Ada aku yang terjebak dengan seseorang, lalu ia membawaku ke tempat dimana semua terasa baru. Hari dimana ia memulai semuanya.

--14 Agustus 20xx--

Ia tawarkan kenyamanan dengan sendu. Aku terjerat, aku terpikat saat ia berkata “Terima kasih karena telah menerimaku apa adanya”.


Ia membawaku ke alam terindah saat ia melantunkan kemerduan ayat-ayat Al- Quran melalui pesan suara.

Ia mencari keberadaanku saat aku sibuk tak memberinya kabar, seketika aku merasa begitu berharga.

AKU & DIA.
Awalnya pun hanya sekedar keisengan belaka. 
Yang kemudian pun saling mencari, saling mengerti, saling membutuhkan, saling sayang, saling menginginkan, saling mengikat janji lalu jadilah.

SINGKAT.
Ketika kejujuran akhirnya mengambil alih.
Pun telah terlambat.
Tak mengerti. 
Penuh amarah. 
Tanpa adanya kesempatan untuk memperbaiki.
Ia menangis,
Ia tersenyum,
"AKU BERHENTI", katanya dengan yakin.

Dingin semakin menusuk.
Malam semakin pekat.
Angin tak lagi sejuk.
Udara semakin memikat.
Memikat hati untuk bergemuruh menemani kaki yang gemetar sembari air mata mencucur begitu derasnya.

Melihat apa yang sudah, aku menemukan kenyataan yang tak sesuai harapan. 
Iman dipertaruhkan, hati dipertanyakan, keputusan diutamakan, cinta diasingkan.

Aku mempertahankan. Aku menolak kepergian.
Sampai pada akhirnya ia berkata “Aku tak bisa menemanimu sampai esok. Ini waktumu untuk pergi”.

LARA.


Kembali dari awal. Aku hanya ingin mengulas kenangan tanpa berniat untuk mengundang. Sampai ditengah frasa aku tersadar bahwa memang apa yang bukan kehendak-Nya tak bisa kita paksakan.

Dan di titik puncak perasaan, aku membiarkannya pergi.
Tak ada yang perlu aku jelaskan lagi.
Ini hanya kenangan.

Sekuat apapun aku mempertahankan dan sebesar apapun usahaku untuk memeluknya, sesuatu yang pada dasarnya ingin pergi tak mungkin dapat aku tahan.


Cukup semua apa yang ia beri aku rasakan indahnya. 

Aku berterima kasih atas kehadirannya pada Allah SWT Pencipta Segala Rasa, Maha Pembolak-balik Hati. Aku bersyukur mampu mengenal ia dengan dekatnya, mampu menghiasi harinya meski tak lama, mampu berbincang dengan mudahnya sampai mampu melepaskannya.


Pada titik puncak rasa sayang, aku membiarkannya pergi. Bukan karena aku menyerah, bukan pula aku lelah.
Aku membiarkanya bahagia tanpa ada aku di sisinya. 
Karena akan lebih membahahagiakan kalau ia bisa lebih bahagia tanpaku daripada harus menggerus hati jika bersamaku.

Kembali aku dipaksa secara tiba-tiba untuk belajar perihal Ilmu Ikhlas.


Untuk Dia.
Terimakasih pernah hadir. 
Terimakasih pernah berkorban.
Terimakasih pernah berjuang.
Terimakasih pernah bertahan.
Terimakasih untuk kenangan.
Terimakasih atas kehangatan.
Terimakasih atas kesabaran.
Terimakasih atas segalanya.

Maafkan segalaku yang salah. Maafkan semuaku yang melukai. 
Maafkanlah.

Aku membiarkanmu pergi sesuai apa yang kau ingini. 

Carilah bahagia seperti yang kau mau. 
Berlarilah menjauh jika itu inginmu.

Aku tak akan memaksakan mauku. 
Untuk menyayangimu aku cukup melihatmu bahagia.
Sampaikan pada hatimu dengan nyata. 

Aku menyayangimu tanpa spasi. 

Inilah kerelaan untuk kau tinggal pergi.
Tetaplah tersenyum.



Ingatlah aku sebagai pribadi yang pernah ikhlas kau tinggalkan demi kebahagiaan yang kau cari. 
Dan do'a untukmu selalu akan aku lantunkan, caraku untuk menyampaikan rindu dan memelukmu dari jauh di jalan-Nya.





Palembang, Juni.

Thursday, June 8, 2017

It was.

It was lust that drew me close to you. Over time, that lust morphed into something deeper called love. But between these all came along something wicked called lie that gave birth to lunacy...



Tuesday, June 6, 2017

Gloomy Tuesday

Saat ini saya sedang dalam perjalanan ke kantor. Seperti biasa, saya duduk disamping Pak Sopir yang sedang bekerja mengendarai bus~

Barusaja, ada pesan masuk di Whatsapp group kantor. Hari ini teman saya, Maria, ga bisa masuk kantor. Harus terbang ke Manado. Bapaknya meninggal...

Saya ga tau apa yang mesti saya ketik sewaktu membaca pesannya. Saya cuma bisa bilang 'Tabah dan Turut Berduka' yang menurut saya terkesan common, tapi mau bagaimana lagi, itu salah satu cara untuk mengungkapkan tenggang rasa sesama manusia, bukan? Saya ga pernah tau apa yang mereka rasain, saya selalu bingung kalo dihadapin dengan situasi kaya gitu. Rasanya, apapun yg saya ucapkan itu ga akan ada pengaruhnya sama yg sedang berduka. Entahlah...

Maria dan saya pernah diskusi tentang hal ini di kantor. Gimana rasanya setiap menerima telfon dari Mama atau Bapak kami itu bawaannya selalu was-was. Seperti, "Semoga saja cuma kangen, semoga saja ada kabar baik, semoga mereka sedang dalam keadaan yang baik". Doa kami pun ga pernah terputus untuk mereka. Namanya pun anak rantau.

Saya paham benar perihal setiap manusia pada akhirnya akan kembali ke Yang Maha Punya. Tapi untuk memikirkan hal tersebut menyangkut Mama dan Bapak, saya ga pernah sanggup. Memang, tidak ada yang pernah sanggup. Dan saya jadinya kepikiran Mama dan Bapak. Hari Minggu kemarin saya lupa telfon...

Dear Maria
Hatimu sekarang pasti sedang tidak karuan, tapi biarkan dia kokoh lagi nanti ya Mar... Allah Maha Baik. Doa saya ada buat Maria.

Dear Mama dan Bapak,
Saya kangen banget...
Sehat-sehat selalu ya. Deyang pengen Mama dan Bapak selalu ada buat deyang. Deyang akan selalu butuh Mama dan Bapak, dalam hal apapun itu bentuknya.  Deyang pengen nanti anak-anak deyang bisa meluk eyang-eyang nya yang luar biasa.

Ya Allah SWT,
Rahmatilah kedua orang tua kami, Kasihilah mereka, ampunilah mereka, Ridhailah mereka dengan Keridhaan yang mencakup segala Keridhaan-Mu, sehingga mereka dapat menempati tempat-tempat mulia lagi aman disisi-Mu, tempat-tempat Pemaafan dan Pengampunan-Mu, serta Kelembutan dan Kebaikan-Mu, Ya Allah. Aamiin Ya Rabb.




Di pagi ini, diantara kemacetan Jakarta, I got this gloomy mood right in the feels.